

Melihat suasana seperti itu, istrinya, Fatmawati pun membawa anak pertamanya yang berumur kurang lebih satu tahun menuju kendaraan Fiat warna putih dengan kelengkapan sederhana menuju Rengasdengklok. Di Kedunggede, dibawah jembatan, rombongan diterima dengan tembakan senjata PETA yang tidak mengetahui misi itu. Hampir saja, kalau Singgih dan Soekarni tidak turun, terjadi hal yang tidak diinginkan. Untuk pengamanan di perjalanan, ditukar kendaraannya dengan menggunakan mobil PETA dan satu mobil gerobak pengangkut tentara PETA.
Pagi sekali matahari pun belum beranjak jauh, penduduk belum banyak pula yang beraktivitas, rombongan sudah memasuki markas PETA Rengasdengklok (Tugu Kebulatan Tekad sekarang). Tidak ada yang tahu, jangankan masyarakat bahkan piket di markas tersebut pun tidak diberitahu. Pukul 09.30 WIB, rumusan proklamasi diperdebatkan dengan sengit antara golongan tua dan golongan muda. Namun akhirnya, dengan pertimbangan keinginan yang kukuh yaitu merdeka ditangan bangsa sendiri menjadikan sebuah senjata yang dapat menembus kesadaran pemimpin besar beserta golongan tua lainnya bahwa kebulatan tekad proklamasi dapat disepakati.
Dengan mengucap syahadat, Bung Karno menulis di atas secarik kertas rumusan teks proklamasi dengan terlebih dahulu memandang kepada Bung Hatta di sebelahnya. Seketika teriak “merdeka” dipekikkan oleh peserta kerapatan yang gaungnya kemudian mendorong semangat pemuda dan rakyat Rengasdengklok untuk menurunkan bendera Jepang dan kemudian mengibarkan sang saka merah putih yang dijahit oleh tangan Ibu Fatmawati ketika ada waktu sisa menina-bobokan Guruh yang rewel dan nangis-nangisan kehabisan susunya. Sementara itu, Bung Karno, Bung Hatta, beserta Fatmawati dan Guruh dipindahkan untuk beristirahat oleh pemuda PETA bersenjata lengkap yang setengah memaksa meminjam rumah seorang Tionghoa bernama Djiaw Kie Song yang tidak tahu-menahu keberadaan rombongan itu.
Bung Masrin, Sulaeman, Suharyana dan kawan-kawan beserta Hadi Pranoto, camat yang difungsikan menggantikan Wedana (Perwakilan Bupati yang membawahi beberapa kecamatan) yang berpihak kepada Jepang, dialah Abdurahman, di halaman pendopo kecamatan Rengasdengklok untuk pertama kalinya upacara kemerdekaan yang sederhana tanpa protokoler dilaksanakan dengan penuh hidmat, dengan tetesan air mata yang mengharukan.
Bunyamin camat Batujaya yang secara kebetulan lewat ke Rengasdengklok ikut pula menyebarkan berita ini sampai ke pelosok daerah. Pukul 15.30 WIB, nyaris proklamasi itu dibacakan di Rengasdengklok pada tanggal 17 Agustus 1945 andai saja Ahmad Soebardjo, Yusuf Kunto, dan sekretarisnya Soediro tidak datang ke Rengasdengklok menjemput rombongan kembali ke Jakarta. Namun, peserta kerapatan tidak membiarkannya kecuali setelah Ahmad Soebardjo bersumpah siap dipenggal kepalanya jika proklamasi tidak dikumandangkan di Jakarta tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah buka puasa bersama dan beramah tamah, malam itu juga rombongan kembali ke Jakarta dan singgah di rumah Laksamana Tadashi Maeda seorang Pembesar Jepang yang berpihak kepada perjuangan bangsa untuk merevisi teks proklamasi.
Menjelang sahur, Sayuti Melik dengan tangannya mengetik teks proklamasi dengan hati-hati yang kemudian ditanda tangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Sebelum membubarkan diri, rombongan berkumpul mendengarkan maklumat yang disampaikan oleh Bung Karno tentang undangan hadir pada saat pembacaan teks proklamasi di Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Pukul 09.30 WIB tanggal 17 Agustus 1945, Bung Hatta dengan berpakaian putih-putih tiba di kediaman Bung Karno yang saat itu masih terbaring karena terjangkit malaria. Melihat Bung Hatta yang penuh semangat, Bung Karno serentak berpakaian rapih dengan warna yang sama.
Pukul 10.00 WIB, diawali pidato pembukaan, suara Bung Karno menyala-nyala menyatakan bahwa kemerdekaan ditangan rakyat sendiri adalah sebuah kebanggaan perjuangan tanah air Indonesia. Dengan sangat sederhana, teks proklamasi pun dikumandangkan dengan suara yang lantang.
Abdul Latief mengibarkan sang saka merah putih diatas tiang bambu diringi dengan suara hadirin yang tidak banyak namun suaranya terdengar seantero dunia seketika itu pula, serempak menyanyikan lagu Indonesia Raya. Merdeka……. merdeka……. merdeka.
Penyusun :
7. Didin Wahidin Masrin.